Oleh: Kang Rian
Menurut Buya Hamka, penamaan kota Demak berasal dari bahasa arab ''Dama" yang berarti mata air. Kerajaan Demak berdiri sekitar abad 15 yang didirikan oleh Raden Patah, anak dari Raja Brawijaya Majapahit. Menurut cerita, Raden Patah disuruh gurunya, yaitu Sunan Ampel untuk membuka tempat berdakwah di tempat yang ditumbuhi oleh tanaman glagah yang berbau wangi dan dekat dengan sungai. Setelah menjadi tempat ramai dengan penduduk yang ingin belajar agama Islam, maka dinamakanlah desa Glagah Wangi. Yang akhirnya berkembang dengan pesat penduduknya. Lalu setelah Raden Patah mendapat restu dari sang ayah --Raja Brawijaya-- akhirnya menjadi kerajaan kecil yang dinamakan "Demak", yang kemudian sejarah mencatatnya sebagai kerajaan Islam terbesar dan pertama di Pulau Jawa. Pewaris estafet kepemimpinan Dinasti Majapahit.
Tidak salah kalau saya memaknai Kota Demak terlahir dari sungai, seperti banyak peradaban lainnya yang terlahir dari sungai misalnya peradaban besar Sungai Nil di Mesir. Karena sungai memang memberi manusia sumber daya pangan dan kehidupan, bahkan menciptakan tatanan sosial yang disebut desa sebagai cikal bakal dari terlahirnya koloni bangsa atau kerajaan. Dan sungai yang penuh dengan riwayat sejarah kota Demak adalah Kali Tuntang. Sungai yang berasal dari kaki Gunung Merbabu yang mengalir melewati kota Salatiga, Semarang, Demak dan berakhir di laut utara Pulau Jawa.
Saya suka membayangkan keluasan dan kejernihan Kali Tuntang pada era kerajaan dulu, sebelum menyempit dan mendangkal karena proses sedimentasi. Juga karena pelebaran jalan dan bangunan. Mungkin dulu luas Kali Tuntang sekitar 30 meter. Dimana dalam suasana senja, dilewati oleh siluet bayangan kapal-kapal besar para saudagar. Terkadang juga lewat rombongan kapal para santri yang mengangkut material kayu besar dan batu dari Kedungjati dan Salatiga, untuk pembuatan Masjid Agung Demak. Itulah mengapa saya sangat suka berlama-lama memandangi Kali Tuntang. Mungkin ada orang seperti saya, yang suka membaca masa kisah silam dari pantulan bayangan sebuah sungai. Seperti pernah pada suatu ketika, saya menatap kembali perjalanan pendekar muda sang Jaka dari desa Tingkir menuju Demak dengan menggunakan rakit, untuk melakukan sayembara. Yang rakitnya didorong oleh rombongan buaya putih. Kejadian tersebut terjadi di sungai ini.
Kisahnya diabadikan dalam tembang Jawa megatruh.
Sigra milir,
Sang gethek sinangga bajul
Kawan dasa kang njageni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanampi ing kanan kering
Sang gethek lampahnya alon
......
Kita terlahir di sebuah generasi yang tidak bisa memandang peristiwa pada keutuhan masa yang lalu. Sehingga sering lupa akan sejarah dan jati dirinya sendiri. Kelupaan kita pada sejarah berawal dari kurangnya penghormatan dan pemeliharaan atas sebuah situs yang menjadi saksi bisu dari sejarah masa silam. Kita tahu meski sekarang Kali Tuntang punya sebuah taman yang bagus dan cantik, tapi aliran sungainya tetap saja masih kotor dan penuh sampah. Mungkin karena kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap kebersihan sungai. Bukan hanya di Demak, tapi juga dari daerah-daerah yang dilewati sungai ini. Saya sangat antusias dengan adanya komunitas pencinta dan peduli Kali Tuntang yang para anggotanya berkegiatan secara swadaya dan mandiri untuk menjaga kebersihan dan kelestarian Kali Tuntang. Mungkin setidaknya gerakan sosial itu bisa mengispirasi peran serta pemerintah setempat agar lebih bisa memberikan perhatian dan kepedulian yang lebih terhadap pelestarian Kali Tuntang. Jadi, tidak hanya fokus memoles, menambah dan mempercantik bangunan bangunan diluar sungai tapi malah melupakan sungai itu sendiri.
Kali Tuntang dengan aliran airnya yang membelah kota Demak, seakan memberitahu kita jika ia adalah bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kota ini. Saya suka membayangkan jika suatu saat Kali Tuntang bisa menjadi
Land Mark yang menawarkan wisata air seperti sungai-sungai di Venesia, airnya bersih dan mengalir, sehingga perahu-perahu wisata bisa melewati dan berkeliling kota mengikuti aliran air. Lalu di sampingnya Jalan Kyai Singkil depan pendopo kabupaten untuk hari-hari tertentu diadakan acara
Car Free Day, misalnya saat hari Sabtu malam dan Minggu pagi khusus bagi para pejalan kaki, untuk arus lalu lintasnya dialihkan ke Jalan Pemuda. Pembatas kanan kirinya dipercantik dan badan jalannya digunakan oleh pedagang kerajinan dan kuliner tradisional yang menjual jajanan tradisional semisal jamu coro, wedang ronde, gethuk lindri, pecel, sate ayam dan jajanan tradisional lainnya pasti sangat romantis. Sehingga akan menumbuhkan nuansa nostalgia yang indah. Kita bisa mengenang dan menikmati spirit dari masa lampau seraya menuangkan kembali kejayaannya dengan sentuhan karya di era sekarang. Begitulah seharusnya manusia memaknai sejarah hidupnya. Saya pesimis jika membayangkan ambisi dari pemerintah kota Demak untuk mendapatkan penghargaan Adipura akan berhasil, jika impian tersebut belum terwujud. Pantulan wajah air Kali Tuntang masih saja keruh dan kotor seperti keadaannya saat ini.
|
Kang Riyan
Bakul Madu, Tinggal di Lempuyang Wonosalam.
Penggiat di simpul Maiyah Kalijagan |